Tak selamanya membersihkan telinga itu baik. Salah penggunaan, justru bisa terjadi iritasi pada telinga, atau bahkan komplikasi pada alat dengar.
Pada dasarnya, seperti disampaikan dr. Kartika Dwiyani, SpTHT, yang perlu diketahui bahwa liang telinga itu terdiri atas lapisan kulit yang mengandung kelenjar. Lapisan terluarnya akan selalu mengalami pengelupasan secara alami.
Sementara kotoran telinga atau yang biasa disebut serumen, merupakan campuran dari hasil produksi kelenjar di liang telinga dengan pengelupasan tadi. Semua ini berfungsi untuk pembersihan, perlindungan telinga, serta pelumasan liang telinga.
“Jadi secara normal ada mekanisme pembersihan telinga secara otomatis (self cleansing). Kotoran telinga akan bergerak ke luar dari liang telinga dengan bantuan gerakan rahang saat mengunyah atau berbicara,” ujarnya.
Mengapa bisa terjadi penumpukan serumen? “Itu karena proses self cleansing tidak berfungsi dengan baik,” tambahnya.
Penyebab lainnya, yaitu kecepatan produksi serumen yang berbeda-beda pada setiap individu, atau penggunaan alat bantu dengar. “Bisa juga karena ada kelainan kulit liang telinga dan ukuran liangnya yang sempit,” ungkapnya.
Namun Kartika menegaskan, penumpukan kotoran telinga ini hanya terjadi pada 1 dari 10 anak, 1 dari 20 orang dewasa, dan sepertiga dari populasi lanjut usia. Dampak penumpukan bisa berupa gangguan pendengaran, rasa berdengung di liang telinga, atau rasa nyeri pada liang telinga. Pada tahap ini, dia menyarankan perlunya tindakan medis berupa pembersihan liang telinga oleh dokter yang kompeten.
Walaupun ada potensi penumpukan kotoran pada liang telinga, dia menyarankan agar tidak asal saat membersihkannya. Misalnya saat menggunakan cotton bud atau pembersih dari kapas. Yang lebih bahaya lagi adalah ketika kotoran telinga berjenis semi padat atau padat. “Yang terjadi justru kotoran terdorong ke dalam, menekati gendang telinga,” ujarnya.
Dampak lain adalah iritasi pada kulit liang telinga akibat gesekan yang dapat menyebabkan infeksi. Lebih parah lagi, lanjut dokter THT yang praktek di RS Jakarta itu, penggunaan cotton bud yang terlalu dalam pada liang telinga juga dapat menyebabkan tertusuknya gendang telinga hingga berakibat kebocoran gendang telinga.
Sementara terkait dengan penggunaan ear candle atau lilin terapi telinga, Kartika memastikan belum adanya bukti medis mengenai manfaat penggunaannya. Mengutip sebuah penelitian pada 1996 di Amerika, dia menuturkan, ternyata tidak ada pembersihan serumen pada pasien yang telah proses ear candling.
Pada proses penelitan selanjutnya, dia mengungkapkan, “survei dilakukan terhadap 122 dokter spesialis THT di Amerika.”
Hasilnya menakjubkan. Dari pengakuan para dokter yang jadi responden itu, ditemukan 21 kasus komplikasi langsung setelah menjalani ear candling. Sebanyak 13 pasien mengalami luka bakar di daun telinga, 7 pasien mengalami penyumbatan di liang telinga dan 1 pasien mengalami kebocoran gendang telinga.
Pada komplikasi tidak langsung, ditemukan: 3 pasien mengalami infeksi pada liang telinga luar dan 6 pasien lainnya mengalami penurunan pendengaran sementara.
Selanjutnya, agar pembersihan liang telinga tetap aman, dokter spesialis dari Universitas Indonesia ini memberikan beberapa saran:
1. Mengingat adanya mekanisme self cleansing, tidak perlu terlalu sering membersihkan bagian dalamnya. “Variasi waktunya memang berbeda bagi setiap individu, karena perbedaan kondisi anatomi dan kecepatan produksi serumen di liang telinga,” katanya.
2. Untuk menjaga kebersihan, cukup bersihkan liang telinga bagian luar saja.
3. Penggunaan cotton bud, tissue lembut, atau kapas hanya untuk membersihkan daun telinga dan bagian luar dari liang telinga. Tidak untuk dimasukkan ke dalam liang telinga.
4. Kalaupun menggunakan cotton bud, pilihlah yang berkualitas baik, sehingga terhindar dari risiko terlepasnya kapas dari tangkainya atau pun patahnya tangkai cotton bud.
5. Hindari penggunaan cotton bud yang menimbulkan gesekan terlalu kuat pada kullit dinding liang telinga.
6. Untuk pembersihan liang telinga bagian lebih dalam, dapat dilakukan dengan kontrol teratur ke dokter spesialis THT, misalnya enam bulan sekali. “Bisa juga tergantung dari kondisi dan keluhan yang dialami masing-masing pasien.
Sumber